Makalah Filsafat Modern(rasionalisme,empirisme,kritisme,dan idealisme)
Posted by Label: dan idealisme), empirisme, kritisme, Makalah Filsafat Modern(rasionalisme
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini
merupakan paradigma bagipengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat
luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi
pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan
kearifan tersendiri, karena kita akan dapat melacak segi-segi positifnya yang
layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Ditinjau dari sudut sejarah, filsafat
Barat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas corak
pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama, adalah zaman Yunani Kuno, ciri
yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah ditujukannya perhatian terutama
pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asal
mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala. Para filosof
pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya, sehingga
ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris. Kedua, adalah
zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut
teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk
memperkuat dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran
Eropa pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan
dengan ajaran agama, sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan
dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya.
Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia
sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut
antroposentris. Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang
berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada otoritas
kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas
kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman
Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.
Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh
kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu
adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang
bersifat absolut. Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran
logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka
pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada filsafat modern dan
pembentukannya yang difokuskan pada tiga masalah inti yaitu Renaisans,
Rasionalisme dan Empirisme dalam rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana filsafat Barat pada era
renaisans?
Bagaimana filsafat modern aliran
rasionalisme?
Bagaimana filsafat modern aliran
empirisme?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberi kemandirian
kepada akal sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaisans, masih
berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya
pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama
manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, bahkan
diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala macam persoalan dapat dijelaskan,
semua permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah
kemanusiaan.
Keyakinan yang berlebihan terhadap
kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang terhadap mereka yang malas
mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang
terjadi pada abad pertengahan, terhadap norma-norma yang bersifat tradisi dan
terhadap apa saja yang tidak masuk akal termasuk keyakinan-keyakinan dan serta
semua anggapan yang tidak rasional.
Dengan kekuasaan akal tersebut, orang
berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin dan
dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat
jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk
menyusun secara a priori suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat
tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal dalam filsafat
dikenal dengan nama aliran rasionalisme.[20]
Pada zaman modern filsafat, tokoh
pertama rasionalisme adalah Rene Descartes (1595-1650). Tokoh rasionalisme
lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz
(1646-1716). Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand
Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah orang
pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan atas keyakinan
diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula orang pertama di
akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang
menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman,
bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas
terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia
melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan
lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama
Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat
yang berbasis pada akal.
Descartes sangat menyadari bahwa tidak
mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio.
Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa dasar
filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam jargon credo ut intelligam
yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat
haruslah akal, ia menyusun argumentasinya dalam sebuah metode yang sering
disebut cogito Descartes, atau metode cogito saja. Metode tersebut dikenal juga
dengan metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt).[21]
Lebih jelas uraian Descartes tentang
bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari metode yang ia canangkan dapat
dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang
menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:
Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai
kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan
tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
Pecahkanlah setiap kesulitan atau
masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun
yang mampu merobohkannya.
Bimbinglah pikiran dengan teratur,
dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara
bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
Dalam proses pencarian dan penelaahan
hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna
serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin
bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan
itu.[22]
Atas dasar aturan-aturan itulah
Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia meragukan segala sesuatu yang
dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan
panca indera. Ia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu dimungkinkan
karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi dan pengalaman tentang roh
halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang
dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam
mimpi, seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi,
persis seperti tidak mimpi. Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan
hal gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu,
Descartes berkata, ”Aku dapat meragukan bahwa aku di sini sedang siap untuk
pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi
persis sepeti itu, padahal aku ada di tempat tidur sedang bermimpi”. Jadi,
siapa yang dapat menjamin bahwa yang sedang kita alami sekarang adalah kejadian
yang sebenarnya dan bukan mimpi?
Pada langkah pertama ini Descartes
berhasil meragukan semua benda yang dapat diindera. Sekarang , apa yang dapat
dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat
keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi dan hal gaib), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada
yang selalu muncul baik dalam jaga maupun dalam mimpi, yaitu gerak, jumlah dan besaran (volume). Ketiga hal tersebut
adalah matematika. Untuk membuktikan ketiga hal ini benar-benar ada, maka
Descartes pun meragukannya. Ia mengatakan bahwa matematika bisa salah. Saya
sering salah menjumlah angka, salah mengukur besaran, demikian pula pada gerak.
Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan, meskipun matematika lebih pasti
dari benda. Kalau begitu, apa yang pasti itu dan dapat kujadikan dasar bagi filsafatku?
Aku ingin yang pasti, yang distinct. [23]
Sampailah ia sekarang kepada langkah
ketiga dalam metode cogito. Satu-satunya hal yang tak dapat ia ragukan adalah
eksistensi dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak
ada satu manusia pun yang dapat menipunya termasuk setan licik dan botak sekali
pun. Bahkan jika kemudian ia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, maka
penyesatan itu pun bagi Descartes merupakan bukti bahwa ada seseorang yang
sedang disesatkan. Ini bukan khayalan, melainkan kenyataan. Batu karang
kepastian Descartes ini diekspresikan dalam bahasa latin cogito ergo sum (saya
berpikir, karena itu saya ada).
Dalam usaha untuk menjelaskan mengapa
kebenaran yang satu (saya berpikir, maka saya ada) adalah benar, Descartes
berkesimpulan bahwa dia merasa diyakinkan oleh kejelasan dan ketegasan dari ide
tersebut. Di atas dasar ini dia menalar bahwa semua kebenaran dapat kita kenal
karena kejelasan dan ketegasan yang timbul dalam pikiran kita:” Apa pun yang
dapat digambarkan secara jelas dan tegas adalah benar.
Dengan demikian, falsafah rasional
mempercayai bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan bukanlah turunan dari dunia
pengalaman melainkan dari dunia pikiran. Descartes mengakui bahwa pengetahuan
dapat dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia mengakui bahwa indera itu bisa
menyesatkan seperti dalam mimpi atau khayalan, maka dia terpaksa mengambil
kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat diandalkan. [24]
Cogito ergo sum dianggap sebagai fase
yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai kebenaran
filsafat yang pertama (primum philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir
adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran
dan keberadaannya tidak butuh kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat
bendawi.
Untuk menguatkan gagasannya, ia
mengemukakan ide-ide bawaan (innate ideas). Descartes berpendapat bahwa dalam
dirinya terdapat tiga ide bawaan yang telah ada pada dirinya sejak lahir, yaitu
pemikiran, Tuhan dan keluasan. Argumen tentang ide bawaan tersebut adalah
ketika saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus
diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat saya. Ketika saya mempunyai ide
sempurna, maka pasti ada penyebab sempurna bagi ide tersebut, karena akibat
tidak mungkin melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain adalah
Tuhan. Adapun alasan tentang keluasan karena saya mengerti ada materi sebagai
keluasan, sebagaimana diketahui dan dipelajari dalam ilmu geometri.
Mengenai substansi, Descartes
menyimpulkan bahwa selain dari Tuhan ada dua substansi, yaitu jiwa yang
hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi,
karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar dirinya, maka ia
kesulitan membuktikan adanya dunia luar tersebut. Bagi Descartes, satu-satunya
alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah bahwa Tuhan akan menipu saya
sekiranya Ia memberi ide keluasan. Namun tidak mungkin Tuhan sebagai wujud yang
sempurna akan menipu saya. Jadi, di luar saya benar-benar ada dunia
material.[25]
Adapun Spinoza beranggapan bahwa hanya
ada satu substansi, yaitu Tuhan. Jika Descartes membagi substansi menjadi tiga,
yaitu tubuh (bodies), jiwa (mind) dan Tuhan, maka Spinoza menyimpulkan hanya
ada satu substansi. Adapun bodies dan mind bukan substansi yang berdiri
sendiri, melainkan sifat dari satu substansi yang tak terbatas. Ketika ia
ditanya,”Bagaimana membedakan atribut bodies dan mind?” Spinoza memberi jawaban
mengejutkan: ”Anda hanyalah satu bagian dari substansi kosmik (universe)”. Jika
demikian, alam semesta juga adalah Tuhan. Bagi Spinoza, Tuhan dan alam semesta
adalah satu dan sama. Ya, Spinoza percaya kepada Tuhan, tetapi Tuhan yang
dimaksudkannya adalah alam semesta ini. Tuhan Spinoza itu tidak berkemauan,
tidak melakukan sesuatu, tak mempedulikan manusia dan tak terbatas (ultimate).
Inilah penjelasan logis dan dapat diketahui tentang Tuhan menurut Spinoza.[26]
Sebagai penganut rasionalisme, Spinoza
dianggap sebagai orang yang tepat dalam memberikan gambaran tentang apa yang
dipikirkan oleh penganut rasionalisme. Ia berusaha menyusun sebuah sistem
filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur (geometri). Seperti halnya orang
Yunani, Spinoza mengatakan bahwa dalil-dalil ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran
yang tidak perlu dibuktikan lagi. Spinoza meyakini bahwa jika seseorang
memahami makna yang dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam ilmu ukur,
maka ia pasti akan memahami makna yang terkandung dalam pernyataan “sebuah
garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik”, maka kita harus
mengakui kebenaran pernyataan tersebut. Kebenaran yang menjadi aksioma.
Contoh ilmu ukur (geometri) yang
dikemukakan oleh Spinoza di atas adalah salah satu contoh favorit kaum
rasionalis. Mereka berdalih bahwa aksioma dasar geometri seperti, “sebuah garis
lurus merupakan jarak yang terdekat antara dua titik”, adalah idea yang jelas
dan tegas yang baru kemudian dapat diketahui oleh manusia. Dari aksioma dasar
itu dapat dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma.
Hasilnya adalah sebuah jaringan pernyataan yang formal dan konsisten yang
secara logis tersusun dalam batas-batas yang telah digariskan oleh suatu aksioma
dasar yang sudah pasti.
2.
Empirisme
Para pemikir di Inggris bergerak ke arah
yang berbeda dengan tema yang telah dirintis oleh Descartes. Mereka lebih
mengikuti Jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme. Empirisme adalah suatu
doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah
empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai
suatu doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti
bahwa rasionalisme ditolak sama sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme
dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai
empirisme.
Orang pertama pada abad ke-17 yang
mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika
Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang
doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar
kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar
empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang
bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme
matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu
filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu
ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang
penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan
yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat
adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun alatnya
adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang
menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang
dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita.
Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu,
bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada
benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari
bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan
sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala
yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan
ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran
kita.
Sebagai penganut empirisme, pengenalan
atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari
segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan
diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman.
Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes
memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis
semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya,
pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah
keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau
digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang
telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda
di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini
diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi,
yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya
terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes
menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya
ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide
tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan.
Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar sifat saja
dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas
di dalam pikiran orang.
Selanjutnya tradisi empiris diteruskan
oleh John Locke (1632-1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris
kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Bagi Locke,
yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha
menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes
dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran
empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas
pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan
datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada
waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan
dari dirinya sendiri. Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis
buku catatan yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan
menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta
refleksi yang pertama dan sederhana. Tapi pikiran, menurut Locke, bukanlah
sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar. Beberapa
aktifitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang datang dari indera
tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan
demikian memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang
dapat kita tangkap adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel
misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja.
Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu
berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan sebagainya. Setelah kita makan
apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran
kita tentang apel inilah yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit
atau ia sebut dengan persepsi. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa
semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan.
Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak
kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang
dapat diibaratkan seperti atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa
yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali seperti demikian itu bukanlah
pengetahuan atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang
faktual.
Di tangan empirisme Locke, filsafat
mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme Descartes mengajarkan bahwa pengetahuan
yang paling berharga tidak berasal dari pengalaman, maka menurut Locke,
pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan. Namun demikian,
empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai begitu jauh belum bisa
dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat. Persoalannya adalah menunjukkan
bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita dan cara
kerja pikiran itu sendiri.
5. Aliran-aliran yang muncul dimasa
pencerahan (Aufklaerung)
3.
KRITISME
Aliran ini dimulai di Inggris, kemudian
Prancis dan selanjutnya menyebar keseluruh Eropa,terutama di Jerman. Di Jerman
pertentangan antara rasionalisme dan empirisme terus berlanjut. Masing-masing
berebut otonomi. Kemudian timbul masalah,siapah sebenarnya dikatakan sumber pengetahuan?
Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiri? Kant mencoba
menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya Kant mengikuti rasionalisme,
tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme (Hume). Walaupun demikian, Kant
tidak begitu mudah menerimanya, karena ia mengetahui bahwa dalam empirisme
terkandung skeptisme. Untuk itu tetap mengakui kebenaran ilmu dan dengan akal
manusia akan dapat mencapai kebenaran.
Ciri-ciri kritisisme diantarnya adalah sebagai
berikut:
•
Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada
objek.
•
Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau
hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu
menjangkau gejalanya atau fenomenya saja.
4.
IDEALISME
A.
IDEALISME OBJEKTIF
1.
Fichte (1762-1814)
Johann Gottlieb fichte adalah
filosof jerman. Ia belajar teologi di jena pada tahun 1780-88. Menurut fiche,
dasar realitas adalah kemauan, kemauan inilah think-in itself-nya manusia.
Penampakan menurut pendapatnya adalah sesuatu yang ditanamkan oleh roh absolute
sebagai penampakan kemauannya. Roh absolute adalah sesuatu yang berada di
belakang kita itu adalah tuhan. Menurut fichte, dasar keperibadian adalah
kemauan, yaitu kemauan yang dikontrol oleh kesadaran bahwa kebebasan diperoleh
hanya melalui kepatuhan kepada peraturan. Kahidupan moral adalah kehidupan
usaha. Manusia dihadapkan kepada rintangan-rintangan , dan manusia digerakan
oleh rasa jiwa yang wajib bahwa ia berutang pada aturan moral umum yang
memungkinkannya mampu memilih yang baik. Idealisme etis fichte diringkas dalam
pernyataan bahwa dunia aktual hanya dapat di pahami sebagai bahan bagi
tugas-tugas kita. Oleh karena itu filsafat bagi fichte adalah fisafat hidup
yang terletak pada pemilihan antara moral idealisme dan moral matrealisme.
Substansi matrealisme bagi fichte ialah naluri, kenikmatan tak bertanggung
jawab, bergantung pada keadaan, sedangkan idealisme adalah bergantung pada diri
sendiri.
2.
Schelling ( 1775-1854)
Schelling adalah filosof
idealis jerman yang telah meletakan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan
idealisme hegel. Ia pernah menjadi kawan fichte. Schelling adalah idealis
jerman terbesar. Pemikiranyapun merupakan mata rantai antara fichte dan hegel.
Schelling berpendapat bahwa kreasi seni adalah relasi antara kesadaran dan
ketidak sadaran. Dan schelling membangun tiga tahap sejarah a. masa perimitif
yang ditadai oleh dominasi nasib, b. masa romawi yang ditandai oleh reaksi
dasar manusia, c. masa yang akan datang yang merupakan sintesis dua masa itu
yang akan terjadi secara seimbang dalam kehidupan, disana yang aktual dan yang
ideal akan bersintesis.
3.
Hegel (1770-1831)
Idealisme jerman memuncak pada George Wilhelm Friedrich Hegel. Walaupun
usianya lebih tua dari pada schelling, hegel menyusun karyanya yang tepenting
ketika schelling sudah menjadi filosofi terkenal. Mula-mula ia dianggapnya
sebagai murid schelling, tetapi lama-kelamaan menjadi berdiri sendiri dan banyak
berbeda dengan pemikiran schelling. Karya hegel yang pertama adalah mengnai
agama Kristen, seperti the life of jejus
dan the spirit of Christianity.
Pusat filsafat hegel ialah konsep geist (roh, spirit), suatu istilah
yang diilhami oleh agamanya. Roh di dalam pandangan hegel adalah sesuatu yang
real, konkrit, kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai
world of spirit (dunia roh), di dalam kesadaran diri roh itu merupakan esensi
manusia dan juga esensi sejarah manusia. “semua yang real bersifat rasional dan
semua yang rasional bersifat real”, maksudnya luasnya rasio sama dengan luasnya
realitas. Konsep filsafat hegel seluruhnya histori dan relative. Ia mengatakan
bahwa apa yang benar ialah perubahan. Kunci filsafat hegel adalah sejarah.
Sejarah menurut hegel, mengikuti jiwa dialektik.
B.
IDEALISME THEIS
1.
Pascal (1623-1662)
Pemikiran filsafat pascal adalah sebagai
berikut:
a.
Pengatahua diperoleh melalui dua jalan, yaitu akal (reason), dan hati
(heart)
b.
Hati memiliki logika tersendiri.
c.
Unsur terpenting dalam manusia adalah konteradiksi, satu-satunya jalan
memahami manusia ialah jalan agama, pengatahuan-pengatahuan rasional tidak
mampu menyingkap manusia, pengatahuan rasional itu hanya mampu menangkap
objek-objek yang bebas dari kontradiksi.
d.
Tuhan juga tidak dapat dipahami melalui argument metafisika, tuhan hanya
dapat di pahami melalui hati.
2.
George Berkeley (1685-1753)
Berkeley lahir di irlandia
pada tahun 1658 dan menjadi uskup. Dia mengkritik realisme locke, yaitu ide
bahwa relitas kosmos yang sesungguhnya dijelaskan oleh ilmu fisika modern, bagi Berkeley, relitas
pada intinya adalah subjektif, dan karena alasan ini filsafatnya sering disebut
idealisme subjektif (idealisme adalah metafisika yang menyatakan bahwa realitas
ada dalam pikiran). Dia membantahesse est percipi (sesuatu itu ada jika bisa
dipersepsikan) dan menghindari serangan solipsism (ide bahwa segalanya ada
dalam pikiran seseorang) dengan
mengatakan bahwa segala sesuatu ada secara objektif dalam pikiran tuhan.
Berkeley mempertanyakan dalam treastise concerning the principle of humen
knowlage (1710), bagaimana pertanyaan locke bahwa dunia externalnya benar-benar
ada dapat dibenarkan. Jika”merah” dan “biru” hanyalah sifat yang subjektif,
sifat primer seperti “ukuran” dan “bentuk”. Dalam teori Berkeley menyatakan
bahwa ilmiah adalah bukanlah penjelasan tentang dunia, melainkan hanya alat
yang bermanfaat untuk memprediksi dan mengendalikan kejadian. Ini adalah suatu
posisi epistemology yang dikenal dengan instrumentalisme (gagasan bahwa teori
ilmiah tidak benar, tetapi merupakan “fiksi” yang bermanfaat).
3. Immanuel Kant (1724-1804)
Kant lahir di Konigsberg,
prusia pada tahun 1724, ia tidak pernah meninggalkan desa kelahirannya kecuali
beberapa waktu singkat karena memberikan
kuliah di desa tetangga. kant amat tekun melaksanakan agamanya, tatkala ia
sudah benar-benar matang ia ingin sekali belajar hal-hal yang mendasar tentang
agamanya. Bukunya, theoryof heaven (1755), menurut kant semua planet sudah atau
akan dihuni, dan planet-planet yang jauh dari matahari mempunyai masa berkembang
lebih panjang, barangkali dihuni oleh species yang lebih cerdas dibandingkan
dengan penghuni bumi kita ini. Bukunya yang pertama yang dibahas pada uraian
berikut ini ialah critique of pure reason. Pada dasarnya buku ini bermaksud
membela sains dari serangan skeptisisme. Tema yang dibahas dan membela agama
(iman) dari gangguan akal.
BAB 1II
PENUTUP
KESIMPULAN
Rasionalisme adalah suatu aliran dalam
filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat
dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi
pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi
pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan
kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif. Rasionalisme
menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan “aku” yang
empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
Empirisme adalah suatu aliran dalam
filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi
mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah
metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka
empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
Ciri-ciri kritisisme diantarnya adalah
sebagai berikut:
•
Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada
objek.
•
Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau
hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu
menjangkau gejalanya atau fenomenya saja.
Daftar Pustaka
Achmadi, Asmoro.
Filsafat Umum. Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Abdul Hakim, Atang., dan Beni Ahmad Saebani. (2008).
Filsafat Umum ”dari Metologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
Sudarsono, Drs. (1993). Ilmu Filsafat
Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka Cipta.