Masuknya islam Di Filipina Selatan

Posted by Unknown Label:

 Masuknya islam Di Filipina Selatan

BAB I
PENDAHULUAN

Asia Tenggara adalah sebutan untuk wilayah daratan Asia bagian timur yang terdiri dari jazirah Indo-Cina dan kepualauan yang banyak serta terilingkupi dalam Negara Indonesia dan Philipina. Meliht sejarah masa lalu, terliaht bahwa Islam bukanlah agama pertama yang tumbuh pesat, akan tetapi Islam masuk ke lapisan masyarakat yang waktu itu telah memiliki peradaban, budaya, dan agama. Taufiq Abdullah menulis dalam bukunya renaisans islam di asia tenggara, bahwa kawasan asia tenggara terbagi menjadi 3 bagian berdasarkan atas pengaruh yagn diterima wilayah tersebut.
Pertama, adalah wilayah indianized southeast asia, asia tenggara yagn dipengaruhi India yang dalam hal ini hindu dan budha
Kedua, sinized south east asia, wilayah yang mendapatkan pengaruh china, adalah Vietnam.
<p>Your browser does not support iframes.</p>
Ketiga, yatu wilayah asia tenggara yag dispanyolkan, atau hispainized south east asia, yaitu philipina.
Ketiga pemmbagian tersebut seolah meniadakan pegnaruh Islam yang begitu besar di Asia tenggara, khususnya Philipina. Seperti tertulis bahwa philipina termasuk negara yang terpengaruhi oleh spanyol. Hal itu benar adanya, akan tetapi pranata kehidupan di Philipina juga terpengaruhi oleh Islam pada masa penjajahan amerika dan spanyol. Sedikit makalah dibawah ini akan menyingkap dengan singkat tentang sejarah masuknya Islam di Philipina.

BAB II
PEMBAHASAN

Islam di asia menurut Dr. Hamid mempunyai 3 bentuk penyebaran. Pertama, penyebaran Islam melahirkan mayoritas penduduk. Kedua, kelompok minoritas Islam. Ketiga, kelompok negera negara Islam tertindas.
Dalm bukunya yang berjudul Islam Sebagai Kekuatan International, Dr. Hamid mencantumkan bahwa Islam di Philipina merukan salah satu kelompok minoritas diantara negara negara yang lain. Dari statsitk demografi pada tahun 1977, Masyarakat Philipina berjumlah 44. 300.000 jiwa. Sedangkan jumlah masyarakat Muslim 2.348.000 jiwa. Dengan prosentase 5,3% dengan unsur dominan komunitas Mindanao dan mogondinao.
Hal itu pastinya tidak lepas dari sejarah latar belakang Islam di negeri philipina. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya penjajahan saja, akan tetapi konflik internal yang masih berlanjut sampai saat ini.
Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baginda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat).
Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.
Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja. Menurut ahli sejarah kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah yang aman). Pendapat ini bisa jadi benar, mengingat kalimat tersebut banyak digunakan oleh masyarakat sub-kontinen [3]
Secara umum, gambaran Islam masuk di Philiphina melalui beberapa fase, dari penjajahan sampai masa modern :

Islam Masa Kolonial Spanyol

Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina, pada 16 Maret 1521 M, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik “ekspedisi ilmiah” Ferdinand de Magellans. Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah.
Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876 M). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin. walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara total. Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam.
Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai “Moor” (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut. Tahun 1578 M terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri. Penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan “misi suci”.
Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari pulau Cebu,

Islam Masa Imperialisme Amerika Serikat

Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 M melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya.
Dan inilah karakter musuh-musuh Islam sebenarnya pada abad ini. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka.
Setahun kemudian (1903 M) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran. Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis.
Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro. Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka. Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro.
Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat. Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen. Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian.

Islam Masa Peralihan

Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah.
Kemudian Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah. Demikian juga Public Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah negara, The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi klaim-klaim atas tanah.
Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis. Pemberlakukan Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935 menandai upaya pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan menjajah Mindanao. Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang baru. NLSA – National Land Settlement Administration – didirikan berdasarkan Act No. 441 pada 1939.
Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama. Bahkan seorang senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman (homogenity) dan keunggulan jumlah Bangsa Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Filipina secara umum.
Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao. Banyak pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan.
Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah mereka

Islam Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang

Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946 M) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF.
Namun pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan. Pada awal kemerdekaan, pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon. Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi. Gerombolan komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan Jepang. Setelah Jepang menyerah, mereka mengarahkan perlawanannya ke pemerintah Filipina.
Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino (1948-1953). Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu.
Perkembangan berikutnya kita semua tahu. MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993).
Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro. Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu. Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF).
Semua pihak memandang caranyalah yang paling tepat dan efektif. Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka walaupun dengan penuh resiko. “Semua orang harus memilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak,” katanya. Dan jadilah bangsa Moro seperti saat ini, minoritas di negeri sendiri.

BAB III
PENUTUP

Dari telusan diatas, begitu kentara bahwasanya islam masuk Philipina dengan jalan yang tidak mulus, berliku dan harus menghadapi rintangan dan hambatan dari dalam maupun luar negeri. Imbasnya, maka pada awal tahun 1970-an, Islam di Philipina merupakan komunitas minoritas dan tinggal di beberapa daerah dan pulau khusus. Dengan suatu konsekwensi bagi kaum minoritas Islam berseberangan degnan kepentingan pemerintah, hingga timbullah konflik yang berkepanjanangan antara pemerintah dan komunitas muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Siti Maryam dkk Sejarah Peradaban Islam, Lkis, 2004
Dr. Hamid A. Rabie, Islam Sebagai Kekuatan International, CV. Rosda Bandung 1985
Hamka, Sejarah Umat Islam, Pustaka Hidayah, 2001

Sejarah Masuknya Islam di Thailand Selatan

Posted by Unknown Label:

Sejarah Masuknya Islam di Thailand Selatan

Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 Masehi melalui para pedagang dari Jazirah Arab. Penduduk setempat dapat menerima ajaran Islam dengan baik tanpa paksaan. Kawasan Thailand yang banyak dihuni umat muslim adalah wilayah bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kantong-kantong muslim di daerah Thailand Selatan ini diantaranya adalah propinsi Pattani, Yala, Satun, Narathiwat dan Songkhla. Di propinsi-propinsi tersebut, rata-rata dihuni oleh sekitar 70 – 80 persen muslim. Selain itu, umat muslim juga tersebar di beberapa wilayah lain, seperti di propinsi Pattalung, Krabi, dan Nakorn Srithammarat.
Pattani adalah salah satu wilayah Thailand yang pernah mengukir sejarah gemilang kejayaan Islam. Pada abad ke-15, negeri ini menjadi sebuah negara Islam terbesar di Asia Tenggara dengan nama Kerajaan Islam Pattani Darussalam. Orang Arab menyebutnya Al Fathoni. Pattani jatuh ke tangan Thailand pada tahun 1785 setelah kerajaan Thailand mengirimkan intelijen untuk mencari rahasia kelemahan Pattani. Makar Thailand sangat licik sehingga akhirnya berhasil meruntuhkan kekuasaan Pattani. Sultan Muhammad, raja Pattani gugur sebagai syahid di medan pertempuran.
Jumlah umat Islam di Thailand relatif kecil , yakni sekitar dua persen. Sumber lain menyebutkan ada sekitar sepuluh persen dari jumlah penduduk Thailand. Namun demikian mereka terus bertahan dan berusaha berda’wah, meski dalam serba keterbatasan. Dalam bidang ekonomi mereka jauh tertinggal oleh para pengusaha Cina yang beragama Budha. Demikian pula dalam bidang politik, pemerintahan Thailand yang didominasi penganut Budha sangat meminggirkan umat Islam. Salah satu kebijakan pemerintah Thailand yang merugikan umat Islam adalah pernah memerintahkan kepada umat Budha agar menyebar ke daerah selatan Thailand yang dihuni oleh umat Islam untuk mengimbangi dan menggembosi kiprah umat Islam. Dalih mereka adalah umat Islam dituduh sebagai penyebab timbulnya berbagai masalah politik dan sosial. Suatu dalih yang terlalu dibuat-buat dan sama sekali tidak berdasar fakta.
<p>Your browser does not support iframes.</p>
Budaya masyarakat muslim Thailand sangat kental dengan budaya Melayu, karena memang rumpun Melayulah yang paling menonjol dalam perjalanan panjang sejarah muslim Thailand sejak abad ke-13. Selain itu, secara geografis, letak Thailand di bagian selatan berbatasan langsung dengan negeri jiran Malaysia. Mata pencaharian sebagian besar muslim Thailand adalah nelayan dan petani. Laut adalah merupakan harta karun bagi mereka. Kesederhanaan dan kejujuran mereka menjadi modal utama untuk bisa menciptakan kehidupan yang tenteram dan bahagia.
Fenomena religius tradisional masih bisa disaksikan di sudut-sudut dusun. Misalnya, saat kembali pulang kerja dari laut, kebiasaan mereka adalah membaca Al Qur’an di rumah bersama keluarga. Mereka taat beribadah. Setiap kali adzan berkumandang, segera mereka bergegas menuju masjid. Kostum sarung dan sorban merupakan pakaian keseharian mereka. Rumah-rumah panggung, bilik bambu adalah wajah kesederhanaan mereka. Di sana terbangun suatu komunitas religius bagaikan sebuah perkampungan pesantren. Dalam bidang pendidikan, anak–anak muslim memiliki dua sekolah. Sehari-hari mereka belajar di sekolah pemerintah sekuler Thailand dan setiap pekan mereka belajar membaca dan memahami Al Qur’an di sekolah Islam dibimbing oleh para orang tua.
Latar belakang sejarah wilayah selatan Thailand yang mayoritas muslim sangat berbeda dengan wilayah utara (Siam) yang mayoritas Budha. Pattani misalnya, negeri ini tidak merasa menjadi bagian dari Siam, karena baik secara ideologi, budaya, maupun agama jelas tidak sama. Mereka dipaksa oleh pemerintah untuk menyatu dalam sebuah negeri Budha tanpa mendapatkan kompensasai yang layak, bahkan sampai dipasung kebebasannya untuk melaksanakan ajaran agama Budha. Tentu saja, hal ini menyebabkan keinginan masyarakat muslim di wilayah selatan untuk melepaskan diri dari pemerintahan Thailand. Sementara pemerintah Thailand menghadapinya dengan tindak kekerasan.
Perkembangan selanjutnya, nama Pattani telah menjadi sebutan bagi seluruh wilayah muslim di Thailand selatan, tidak lagi menjadi sebuatan sebuah propinsi di Thailand. Pattani telah menjadi lambang perjuangan umat Islam. Di negeri ini, berdiri sebuah mesjid yang menjadi lambang Islam, yaitu Masjid Pintu Gerbang atau disebut juga Masjid Kerisek. Masjid ini di berada depan pintu gerbang Istana Negara dengan lebar 15,10 meter, panjang 29,60 meter dan tinggi 6,5 meter. Tentara Thailand pernah membakar masjid bersejarah ini sebanyak tiga kali, namun hingga sekarang masih bisa bertahan. Masjid Pintu Gerbang ini menjadi penghulu masjid-masjid lainnya di Thailand selatan yang jumlahnya sekitar 1.395 (tahun 1987).
Pada tahun 1935 masjid Pintu Gerbang diangkat menjadi situs negara dan dilarang untuk dijadikan sebagai tempat ibadah. Tentu saja umat Islam tidak mau menerima keputusan pemerintah tersebut. Berbagai upaya terus dilakukan, hingga demonstrasi besar-besaran pada tahun 1988 menuntut agar masjid lambang umat Islam tersebut diizinkan dijadikan tempat ibadah kembali. Hasilnya, pemerintah memutuskan bahwa masjid tersebut tetap menjadi situs negara, tetapi boleh dijadikan sebagai tempat ibadah.
Mesjid lain yang menjadi syiar Islam di Thailand adalah Masjid Shalahudin Al Ayubi dan Masjid Kulusei. Masjid Shalahudin Al Ayubi adalah sebuah masjid yang terletak di Nahofi. Arsitektur bangunan masjid ini memiliki kesamaan dengan masjid Madinah dengan dihiasi menara setinggi kira-kira 25 meter. Nama Shalahudin Al Ayubi diambil untuk mengenang kemenangan beliau sebagai panglima Islam dalam Perang Salib pada abad ke-12 M.
Sedangkan Masjid Kulusei adalah sebuah masjid yang menyimpan legenda. Masjid ini hingga sekarang pembangunannya tidak rampung, disebabkan adanya persengketaan antar keluarga dan antar suku yang cukup serius. Pada abad ke-16 M, masjid ini dibangun oleh seorang China Budha yang kemudian masuk Islam. Sebelum masuk Islam, ia pernah bernadzar bahwa jika dirinya masuk Islam, maka ia akan membangun sebuah masjid. Akhirnya, ia menjadi seorang muslim yang taat dan mulai membangun masjid yang dinadzarkannya. Akan tetapi, seorang adik perempuannya yang masih beragama Budha, sangat tidak senang melihat perubahan pada diri kakaknya. Sang adik kemudian melakukan berbagai macam cara untuk menggagalkan rencana kakaknya. Hingga kemudian perseteruan adik-kakak tersebut berkembang menjadi perseteruan suku. Orang-orang China Budha di daerah tersebut terkena makar, sehingga merusak dan menghancurkan masjid tersebut. Hingga kini masjid Kulusei tinggal dinding-dinding rapuh tanpa atap.
Persengketaan antara penduduk muslim dan pemerintahan Thailand itu terus memanas hingga dekade 70-an. Pembunuhan dan berbagai tindak kekerasan lainnya sering dialami oleh para aktivis Islam. Hal ini menimbulkan munculnya berbagai organisasi yang berhaluan keras menuntut kemerdekaan Pattani, seperti Pattani United Liberation Organization (PULO), Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), dan Barisan Revolusi Nasional (BNP).
Akhir-akhir ini, situasi pertentangan Muslim dan pemerintah Budha Thailand mulai mereda. Pemerintah telah melakukan beberapa perubahan sikap terhadap umat Islam dari selalu curiga dan menekan, menjadi lebih terbuka, bersamaan dengan perubahan iklim demokratisasi Thailand. Tindakan-tindakan kekerasan telah berkurang dan bahkan umat Islam telah diikutsertakan dalam pemilu dan juga menempatkan wakilnya secara proporsional di parlemen.
Namun, pertentangan masih tetap ada, karena selalu saja ada perbedaan cara pandang antara kedua pihak. Organisasi-organisasi Islam masih tetap ada. Sayangnya, di antara mereka terdapat pengelompokan yang menyebabkan terhambatnya perjuangan Islam di Thailand. Kelompok modernis memiliki cara perjuangan yang berbeda dengan kalangan tradisional. Demikian pula kelompok yang berada di antara keduanya. Memang  jalan perjuangan yang terbentang selalu ditaburi oleh “duri-duri”. Thailand Selatan adalah salah satu sudut dunia Islam yang mencoba mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu dengan menghalau segala “duri-duri” yang menghadang.

Perkembangan Islam di Thailand Selatan

Melayu Pattani atau yang acapkali disebut Pattani, merupakan satu dari sekian banyak kelompok etnik Melayu di Asia Tenggara. Kelompok sosial ini bermukim di Tanah Genting Kra, Provinsi Pattani, Thailand Selatan (Pantai Teluk Thailand). Pattani juga merupakan salah satu nama dari empat provinsi di Thailand bagian selatan yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam atau sekitar 80% muslim. Di sebelah selatan, wilayah ini berbatasan langsung dengan Malaysia bagian utara, Semenanjung Malaka, region Asia Tenggara. Sementara di bagian utara dan barat, provinsi ini berbatasan langsung dengan Provinsi Yala (Jala) dan Narathiwat (Menara) di mana kedua provinsi ini pada masa lalu merupakan bagian dari Tanah Genting Kra atau Pattani Raya.
Dalam prosentasenya, penduduk muslim di Negeri Gajah Putih hanya sekitar 5,5% dari keseluruhan warga negara yang mayoritas beragama Buddha (Asian Survey, Mei 1998). Dari 5,5% ini hampir seluruhnya orang Melayu Pattani yang bermukim di Provinsi Pattani. Fakta kuantitatif tersebut menyebabkan mereka terpinggirkan secara sosial dan politik, serta menjadikannya sebagai sukubangsa minoritas di Thailand. Karena hal itu pula, hingga kini, masih saja muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap negara (penguasa) dari orang Pattani. Salah satunya ialah gerakan separatis masyarakat Pattani yang dikenal dengan dar al-Islam.
Dar al-Islam merupakan gerakan militan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari belenggu ketidakadilan dari pemerintahan Kerajaan Thai (bangsa Siam / Ayuthaya). Selain itu, buntut dari pelbagai persoalan di masa lalu yang tak kunjung usai juga menjadi motif gerakan ini untuk mendeklarasikan negara Islam. Hal ini senada dengan kondisi masyarakat Melayu Moro di Pulau Mindanao, Filipina bagian Selatan, di mana sama-sama berkeinginan untuk memisahkan dari cengkraman negara induknya, Filipina.
Bila menilik dari sejarahnya, sejak abad ke-11 M hingga tahun 1786, Kerajaan Pattani Raya merupakan sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang cukup luas, kira-kira luasnya setara dengan luas wilayah negara Thailand saat ini plus beberapa area yang kini termasuk teritori Malaysia Utara. Pada masa kejayaan Sriwijaya di Nusantara, Pattani dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang terdapat di daerah Semenanjung Melayu dan Sumatra sempat berada dalam kekuasaan imperium Sriwijaya. Dari abad ke-7 M hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya menguasai jalur pedagangan di Selat Malaka, dan menarik pajak dari para pedagang yang melintasi dan berdagang di kawasan itu.
Nama Pattani sesungguhnya baru muncul di sekitar abad ke-14 M. Sebelum itu, tanah Pattani adalah hak milik dari kerajaan yang bernama Langkasuka. Langkasuka merupakan salah satu dari puluhan kerajaan kuna di Asia Tenggara. Langkasuka berubah menjadi Pattani pada abad ke-14 karena berbagai hal yang sifatnya politik-ekonomi, terutama lantaran kerajaan ini berada di pusat perdagangan dan bertemunya para merkantil dari Asia dan Eropa (Syed Serajul Islam, 1998). Pedagang Arab mulai masuk sekitar abad ke-12, dan mencapai puncaknya di abad ke-15 melalui para pedagang Arab yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Pattani Raya.
Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi Kerajaan Pattani Raya tumbuh pesat. Oleh karenanya, interaksi semakin intens antara raja Pattani dan masyarakatnya dengan para pedagang yang berlabuh tadi, maka pada abad ke-15 raja Pattani mendeklarasikan bahwa dirinya—yang juga diikuti masyarakatnya—memeluk Islam. Sejak itu, Pattani dikenal sebagai masyarakat berbasis Islam dengan corak budaya, organisasi sosial masyarakatnya, dan institusi pemerintahan yang tentu berlainan dengan model Kerajaan Langkasuka yang berkiblat pada Hindu-Buddha.
Namun, setelah berperang selama hampir setengah abad (dari tahun 1785—1826 M), memasuki abad ke-19 akhirnya Pattani dikalahkan kembali oleh Siam (Ayuthaya). Hal ini didukung oleh pemerintah kolonial Inggris yang pada tahun 1826 M mengakui kekuasaan Siam atas Pattani. Pada tahun 1902 M, Kerajaan Siam memberlakukan kebijakan Thesaphiban yang menghapus seluruh sistem pemerintahan kesultanan Melayu di Pattani. Sejak saat itu, Kerajaan Pattani semakin lemah dan tertekan.
Di awal abad ke-20, ketika Perang Dunia II meletus, bangsa Siam berpihak pada Jepang untuk menentang kependudukan Inggris. Sementara itu, Tengku Mahmud Muhyiddin, salah seorang putera mantan raja Pattani, berdinas dalam ketentaraan Inggris dengan pangkat mayor. Ia kemudian membujuk penguasa kolonial Inggris yang berkantor di India agar mengambil alih Pattani dan menggabungkannya dengan Semenanjung Melayu. Pada 1 November 1945, sekumpulan tokoh Pattani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil menyampaikan petisi pada Inggris agar empat wilayah di daerah selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Melayu.
Dalam perkembangannya, ternyata Inggris tetap mengutamakan kepentingan dirinya sendiri sebagai tolok ukur dalam mengambil keputusan. Dengan alasan tergantung pada pasokan beras dari Siam, maka kemudian Inggris memilih tetap mendukung pendudukan Siam atas Pattani. Pada tahun 1909 M, Inggris dan Siam menandatangani perjanjian yang berisi pengakuan Inggris terhadap kekuasaan Siam di Pattani. Dalam perjanjian itu, dijelaskan secara tegas mengenai batas wilayah kerajaan Siam dan Semenanjung Melayu. Garis batas yang disepakati dalam perjanjian tersebut sekarang menjadi daerah batas Malaysia dan Thailand.
Dari semua itu, sejarah panjang rakyat Pattani kerap diwarnai dengan perang dan damai; dua keadaan ini datang silih berganti. Namun, apapun kondisinya, ternyata rakyat Pattani tetap memiliki kehidupan sosial budaya yang tidak jauh berbeda dengan kawasan Melayu lainnya. Di Pattani, ternyata juga berkembang berbagai pertunjukan dan permainan rakyat, seperti Makyong, mengarak burung, wayang kulit Melayu, dan seni musik nobat.
Bahkan, permainan tradisional masyarakat Siam, yaitu menora, juga digemari oleh masyarakat muslim Pattani. Dalam permainan menora, terdapat unsur ritual, nyanyian, tarian dan lakon. Berkaitan dengan alat-alat musik, yang berkembang luas di masyarakat adalah serunai, nafiri, dan rebab. Sebagai bangsa yang hidup di dalam kuasa bangsa Siam, di Pattani tetap muncul suatu perlawanan. Perlawanan tersebut terefleksi dalam nyanyian rakyat ketika menidurkan anak (lagu dodoi).

Minoritas Muslim Dan Konflik Di Thailand Selatan

Muslim di Tailand Selatan memiliki identitas etnis dan agama yang berbeda dengan mayoritas penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim memiliki bahasa Melayu dan beragama Islam, dua identitas budaya dan agama yang menjadi bagian dari Bangsa Patani. Mereka selama ratusan tahun terbentuk dalam Kerajaan Islam Patani.
Dinamika Penduduk Jumlah penduduk Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Buddha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan. Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan.
Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% di perkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, rata- rata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000).
Songkhla adalah provinsi terbesar di Thailand Selatan, yang memiliki bandara internasional, dan sebagai pusat perdagangan di Selatan. Masyarakat Buddha etnis Thai kebanyakan tinggal di perkotaan. Meskipun mereka minoritas di Selatan, mereka termasuk kelompok ekonomi menengah, sebagai pegawai pemerintah dan atau pengusaha. Selama masa integrasi Pattani, istilah untuk keempat provinsi yang mayoritas Muslim, masyarakat Thai Buddhis mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Karena mereka selalu mendominasi sebagai pemimpin utama lembaga-lembaga pemerintah Thailand Selatan.
Sementara etnis minoritas lain, China kebanyakan juga tinggal di perkotaan sebagai pedagang. Kawasan ‘pecinan’ terbesar di Selatan adalah di Kabupaten Betong, Provinsi Yala. Sementara penduduk etnis Thai di pedesaan kehidupan ekonomi dan kedudukannya sama dengan kebanyakan Muslim, sebagai petani, nelayan atau pedagang kecil.
Sejak 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih negara-negara di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala, yang kemudian menjadi provinsi di Thailand. Sementara negara di Melayu utara yang lain: Kedah, Kelantan, Perlis dan Terengganu oleh Inggris dimasukkan sebagai bagian dari Malaysia (Yusuf, 2006: 170).
Sejak penyatuan kelima negara di wilayah Melayu Utara ke dalam bagian dari Thailand, terjadi benturan budaya antara Muslim Melayu dan Buddis Thailand. Pada awal pemerintahan Thailand yang dikuasai oleh tentara Jenderal Luang Pibulsongkram, yang memimpin 1938-1944, Marshal Sarit Thanarat, 1958-1963 dan pemimpin jenderal lainnya, kebijakan nasionalisme budaya Thailand menjadi kebijakan utama. Thaisasi – upaya penggunaan budaya dan bahasa Thai- secara kuat di seluruh Thailand, termasuk wilayah Selatan, membuat benturan budaya yang keras, yang menimbulkan resistensi sangat kuat bagi Muslim Melayu di Thailand Selatan. Dua peristiwa yang mengenaskan pada tahun 2004 sangat menarik perhatian semua pihak baik di Thailand maupun di luar Thailand.
Muslim di Tailand Selatan memiliki identitas etnis dan agama yang berbeda dengan mayoritas penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim memiliki bahasa Melayu dan beragama Islam, dua identitas budaya dan agama yang menjadi bagian dari Bangsa Patani. Mereka selama ratusan tahun terbentuk dalam Kerajaan Islam Patani. Kuatnya identitas lokal keislaman dan kemelayuan ini mendorong banyak intelektual Thailand untuk menggagas status otonomi Thailand Selatan, khususnya di tiga provinsi: Patani, Yala dan Narathiwat, atau dalam banyak istilah sejarah ketiga provinsi ini disebut Muslim Patani (Yusuf dan Schmidt, 2006).
Identitas ini sangat dekat dengan etnisitas Aceh yang tidak sekedar memiliki status Daerah Istimewa, tetapi otonomi khusus dengan peran dan hak lebih besar bagi pemerintah lokal atas kekayaan sumber daya alam. Otonomi luas barangkali solusi bagi Muslim Patani untuk menentukan arah ekonomi dan politik wilayahnya di bawah kekuasaan pemerintah pusat Thailand. Tetapi ide otonomi nampaknya belum menjadi agenda pemerintah pusat. Seandainya wacana dimunculkan kalangan intelektual, muncul banyak kekhawatiran atas sikap tanggapan yang tidak fair dan berlebihan bahwa otonomi bisa dijadikan jembatan menuju kemerdekaan.
Partai Demokrat – yang menekankan secara persatuan kuat negara Thailand – tidak berbuat banyak dalam perdamaian di Selatan, khususnya mendukung kepentingan Muslim. Kritik ini tentu penting diperhatikan oleh pihak politisi, yang memainkan isu Selatan untuk kepentingan mereka. Partai Thai Rak Thai yang dalam periode Thaksin memenangi parlemen secara sengaja meninggalkan Selatan dalam proses pembangunan dan modernisasi Thailand secara umum. Bahkan membiarkan kerusuhan di Selatan. Kerusuhan yang muncul dipelihara oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Di antara mereka adalah aparat pemerintah.
Berlanjutnya kerusuhan akan mendapatkan budget lebih besar bagi rehabilitasi dan pembangunan lainnya. Separatisme, Etnis atau Agama? Bagi masyarakat Indonesia, konflik di Thailand Selatan sangat kental dengan nilai-nilai agama. Mereka melihat konflik ini adalah pertarungan antara Muslim Melayu dan Buddis Thai. Kata ‘Muslim’ dan ‘Buddhis’ mengarahkan pada kuatnya pengaruh agama dalam masing-masing masyarakat. Apabila dilihat lebih dekat, identitas Muslim Melayu di Selatan memang sangat kuat. Masyarakat khususnya di tiga provinsi: Pattani, Yala, dan Narathiwat identitas keislaman dan kemelayuan tidak bisa dipisahkan. Masyarakat lebih welcome dengan orang Melayu daripada dengan etnis lain, terutama Thai.
Penggunaan bahasa Melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga provinsi ini, di atas 70 %, dibandingkan dengan provinsi lain di Selatan: Satun dan Songkhla. Tetapi bahasa Melayu ‘dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di perkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan ba hasa Melayu, karena bahasa ini memberi spirit identitas mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 2000 orang meninggal berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap Muslim. Pada April 2004, 30 pemuda Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah karena didirikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada Khalifah Abbasiyah.
Peristiwa kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di perjalanan, setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam kondisi terikat tangan di belakang. Dua peristiwa ini sangat membekas di hati Muslim, dan banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin menggiatkan penyerangan terhadap berbagai organ pemerintah maupun masyarakat Buddha. Reaksi Muslim selatan ini direspon negatif oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat militer di kelima provinsi ini.
Peristiwa Takbai yang menewaskan Muslim sekitar 200 orang menimbulkan reaksi paling keras dari milisi Muslim, yang kemudian membalas dengan penembakan dan pemboman misterius yang menargetkan korban tentara, polisi, pegawai pemerintah Thai, etnis China dan pendeta Buddha. Hampir setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban dipihak tentara atau Buddha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika Serikat yang menawarkan bantuan keamanan untuk mengatasi ‘gerilyawan’ dari Selatan.
Upaya rekonsiliasi telah dilakukan oleh pemerintah pusat dalam lima tahun terakhir, dengan terbentuknya Komisi Rekonsiliasi Nasional yang mengantarkan dan memediasi perdamaian di Selatan. Kuatnya peran tentara di Thailand, membuat banyak rekomendasi komisi tidak bisa dijalankan. Pendidikan, pekerjaan dan fasilitas pemerintah lainnya tetap saja tidak leluasa dinikmati bagi Muslim Melayu. Persyaratan pemakaian ketat bahasa nasional Thai dan sikap yang mencerminkan nasionalisme –pro kebijakan pusat – menjadi penghambat rekonsiliasi yang telah dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan komisi rekonsiliasi. Kehadiran masyarakat internasional, antara lain Nahdlatul Ulama yang menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah- kerajaan Thailand akan banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat mengakomodasi gagasan dan harapan Muslim Melayu di Selatan, yaitu penggunaan tradisi Muslim Melayu lebih terbuka, dan pengakuan pemerintah pusat atas tradisi ini, khususnya di Pattani, Yala, dan Narathiwat.
Dapat disimpulkan, tumbuhnya sikap anti pemerintah pusat yang dilakukan oleh Muslim di Selatan Thailand diakibatkan banyak hal. Kesenjangan ekonomi menjadi kunci atas terus berlangsungya gerakan ‘separatisme’ atau dalam istilah David Brown sebagai ‘separatisme etnis’ atas dominasi kolonialisme internal Thailand. Kesenjangan ini telah berlangsung puluhan tahun. Akibatnya, masyarakat Muslim yang mendapat tekanan politis dan keamanan dari pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Sebagian dari mereka secara diam-diam mendukung gerakan anti-pemerintah. Bahkan beberapa di antara mereka aktif terlibat dalam aksi kekerasan.

Masuknya Islam Dibrunei Darussalam

Posted by Unknown Label:

 Masuknya Islam Dibrunei Darussalam

Sebagian besar wilayah Brunei terdiri dari daratan. Dengan pantai berupa rawa-rawa dengan hutan bakau, tetapi makin jauh kepedalaman tanah makin bukit-bukit dengan ketinggian kurang dari 100 M. Diperbatasan dengan Serawak terdapat daerah berbukit dengan ketinggian diatas 300M.
Penduduk Brunei hanya berjumlah 370 ribu orang dengan pendapatan berkapita sekitar 23,600 dollar Amerika atau sekitar 225 juta rupiah, Penduduknya 67% beragama Islam, Budha 13%, Kristen 10% dan kepercayaan lainnya sekitar 10%. Islam adalah agama resmi kerajaan Brunei Darusalam yang dipimpin oleh Haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah (1967-kini).

Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Brunei Darussalam

Catatan tradisi lisan diperoleh dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari perkataan baru nah yaitu setelah rombongan klan atau suku Sakai yang dipimpin Pateh Berbai pergi ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negeri baru. Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan sangat strategis yaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk transportasi dan kaya ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai, maka mereka pun mengucapkan perkataan baru nah yang berarti tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk mendirikan negeri seperti yang mereka inginkan.
Kemudian perkataan baru nah itu lama kelamaan berubah menjadi Brunei
Diperkirakan Islam di Brunei datang pada tahun 977 melalui jalur Timur Asteng oleh pedagang-pedagang dari negeri Cina. Catatan bersejarah yang membuktikan penyebaran Islam di Brunei adalah Batu Tarsilah. Catatan pada batu ini menggunakan bahasa Melayu dan huruf Arab. Dengan penemuan itu, membuktikan adanya pedagang Arab yang datang ke Brunei dan sekitar Borneo untuk menyebarkan dakwah Islam.
Silsilah kerajaan Brunei terdapat pada Batu Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak Betatar, raja yang pertama kali memeluk agama Islam (1368) sampai kepada Sultan Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19, memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807).
Replika stupa yang dapat ditemukan di Pusat Sejarah Brunei menjelaskan bahwa agama Hindu-Buddha dahulu pernah dianut oleh penduduk Brunei. Sebab telah menjadi kebiasaan dari para musafir agama tersebut, apabila mereka sampai di suatu tempat, mereka akan mendirikan stupa sebagai tanda serta pemberitahuan mengenai kedatangan mereka untuk mengembangkan agama tersebut di tempat itu. Replika batu nisan P’u Kung Chih Mu, batu nisan Rokayah binti Sultan Abdul Majid ibni Hasan ibni Muhammad Shah Al-Sultan, dan batu nisan Sayid Alwi Ba-Faqih (Mufaqih) pula menggambarkan mengenai kedatangan agama Islam di Brunei yang dibawa oleh musafir, pedagang dan mubaligh-mubaliqh Islam, sehingga agama Islam itu berpengaruh dan mendapat tempat baik penduduk lokal maupun keluarga kerajaan Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam (1406-1402).
Awang Alak Betatar ialah Raja Brunei yang pertama memeluk Islam dengan gelar Paduka Seri Sultan Muhammad Shah. Dia terkenal sebagai pengasas kerajaan Islam di Brunei dan Borneo. Pedagang dari China yang pernah ke Brunei merakamkan beliau sebagai Ma-Ha-Mo-Sha. Beliau meninggal dunia pada 1402.
Awang Alak menganut Islam dari Syarif Ali. Dikatakan, Syarif Ali adalah keturunan Ahlul Bait yang bersambung dengan keluarga Rasulullah melalui cucu Baginda,Saidina Hassan. Pendekatan dakwah yang dilakukan Syarif Ali tidak sekadar menarik hati Awang Alak, dakwahnya menambat hati rakyat Brunei. Dengan kebaikan dan sumbangan besarnya dalam dakwah Islam di Brunei, beliau dinikahkan dengan puteri Sultan Muhammad Shah. Setelah itu, beliau dilantik menjadi Sultan Brunei atas persetujuan pembesar dan rakyat setempat.
Sebagai pemimpin dan ulama, Syarif Ali gigih mendaulatkan agama Islam, diantaranya membina masjid dan melaksanakan hukum Islam dalam pentadbiran negara. Kegiatan membina masjid ini dijadikan pusat kegiatan keagamaan dan penyebaran Islam. Setelah tujuh tahun memerintah Brunei, pada 1432, Syarif Ali meninggal dunia dan dimakamkan di Makam Diraja Brunei.
Perkembangan Islam semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), sehingga banyak ahli agama Islam pindah ke Brunei. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tersebut telah menyebabkan Sultan Brunei mengambil alih kepimpinan Islam dari Malaka, sehingga Kesultanan Brunei mencapai zaman kegemilangannya dari abad ke-15 hingga abad ke-17 sewaktu memperluas kekuaaannya ke seluruh pulau Borneo dan ke Filipina di sebelah utaranya.
Kemajuan dan perkembangan Islam semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan ke-5, yaitu Sultan Bolkiah (1485 – 1524), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, seluruh pulau Kalimantan (Borneo), kepulauan Sulu, Kepulauan Balabac, Pulau Banggi, Pulau Balambangan, Matani dan Utara Pulau Pahlawan sampai ke Manila.
Pada masa sultan ke-9, yaitu Sultan Hassan (1605-1619), dilakukan beberapa hal yang menyangkut tata pemerintahan, pertama, menyusun Institusi-institusi pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting dalam memandu negara Brunei kearah kesejahteraan, kedua, menyusun adat istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka.
Di samping menciptakan atribut kebesaran raja dan perhiasan raja. Ketiga, memuatkan UU Islam yaitu Hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian. Aturan adat istiadat kerajaan dan istana tersebut masih kekal hingga sekarang.
Pada tahun 1658 Sultan Brunei menghadiahkan kawasan timur laut Kalimantan kepada Sultan Sulu di Filipina Selatan sebagai penghargaan terhadap Sultan Sulu dalam menyelesaikan perang saudara di antara Sultan Abdul Mubin dengan Pengeran Mohidin. Persengketaan dalam kerajaan Brunei merupakan satu faktor yang menyebabkan kejatuhan kerajaan tersebut, yang bersumber dari pergolakan dalam disebabkan perebutan kuasa antara ahli waris kerajaan, juga disebabkan timbulnya pengaruh kuasa penjajah Eropa yang menggugat corak perdagangan tradisi, serta memusnahkan asas ekonomi Brunei dan kesultanan Asia Tenggara yang lain.

Brunei Darussalam Pada Masa Penjajahan Inggris

Pada Tahun 1839, James Brooke dari Inggris datang ke Serawak dan menjadi raja disana serta menyerang Brunei, sehingga Brunei kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Sebagai balasan, ia dilantik menjadi gubernur dan kemudian “Rajah” Sarawak di Barat Laut Borneo sebelum meluaskan kawasan di bawah pemerintahannya.
Pada tanggal 19 Desember 1846, pulau Labuan dan sekitarnya diserahkan kepada James Brooke. Sedikit demi sedikit wilayah Brunei jatuh ke tangan Inggris melalui perusahaan-perusahaan dagang dan pemerintahnya sampai wilayah Brunei kelak berdiri sendiri di bawah protektorat Inggris sampai berdiri sendiri tahun 1984.
Pada masa yang sama, Persekutuan Borneo Utara Britania sedang meluaskan penguasaannya di Timur Laut Borneo. Pada tahun 1888, Brunei menjadi sebuah negeri di bawah perlindungan kerajaan Britania dengan mengekalkan kedaulatan dalam negerinya, tetapi dengan urusan luar negara tetap diawasi Britania. Pada tahun 1906, Brunei menerima suatu langkah perluasan kekuasaan Britania saat kekuasaan eksekutif dipindahkan kepada seorang residen Britania, yang bertugas menasehati baginda Sultan dalam semua perkara, kecuali hal yang bersangkutan dengan adat istiadat setempat dan agama.
Pada tahun 1959, Brunei mendeklarasikan kerajaan baru yang berkuasa memerintah, kecuali dalam isu hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan. Di mana isu-isu ini menjadi tanggung jawab Britania. Percobaan untuk membentuk sebuah badan perundangan pada tahun 1962 terpaksa dilupakan karena terjadi pemberontakan oleh partai oposisi yaitu Partai Rakyat Brunei dan dengan bantuan Britania, pemberontakan ini berhasil diberantas. Pada akhir 1950 dan awal 1960, kerajaan Brunei ketika itu menolak cadangan (walaupun pada awalnya menunjukkan minat) untuk bergabung dengan Singapura, Sabah, Sarawak, dan Tanah Melayu untuk membentuk Malaysia dan akhirnya Sultan Brunei ketika itu bercadang untuk membentuk sebuah negara yang merdeka.
Pada 1967, Sultan ke-28, Omar Ali Saifuddin III (1950-1967) telah turun dari takhta dan melantik putra sulungnya Hassanal Bolkiah, menjadi Sultan Brunei ke-29. Baginda juga berkenan menjadi Menteri Pertahanan setelah Brunei mencapai kemerdekaan penuh dan disandangkan gelar Paduka Seri Begawan Sultan. Pada tahun 1970, pusat pemerintahan negeri Brunei Town, telah diubah namanya menjadi Bandar Seri Begawan untuk mengenang jasa baginda. Baginda mangkat pada tahun 1986.
Pada 4 Januari 1979, Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan. Perjanjian tersebut berisi 6 pasal. Akhirnya setelah 96 tahun di bawah pemerintahan Inggris Brunei resmi menjadi negara merdeka di bawah Sultan Hassanal Bolkiah pada 1 Januari 1984, Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kemerdekaan sepenuhnya.

Islam di Brunei Darussalam Setelah Merdeka

Setelah merdeka Brunei menjadi sebuah negara Melayu Islam Beraja. “Melayu” diartikan dengan negara melayu yang mengamalkan nilai-nilai tradisi atau kebudayaan melayu yang memiliki unsur-unsur kebaikan dan menguntungkan. “Islam” diartikan sebagai suatu kepercayaan yang dianut negara yang bermazhab Ahlussunnah Waljamaah sesuai dengan konstitusi dan cita-cita kemerdekaannya. “Baraja” adalah suatu sistem tradisi melayu yang telah lama ada.
Brunei merdeka sebagai negara Islam di bawah pimpinan sultan ke-29, yaitu Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan saultan adalah “ke bawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda dan yang dipersatukan negeri. Gelar “Muizaddin Waddaulah” (pinata agama dan negara) menunjukkan ciri keislaman yang selalu melekat pada setiap raja yang memerintah.
Sebelum abad 16, Brunei memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Wilayah Kalimantan dan Filipina. Sesudah merdeka, di tahun 1984 Brunei kembali menunjukkan usaha serius bagi memulihkan nafas ke-islaman dalam suasana politik yang baru. Di antara langkah-langkah yang diambil ialah mendirikan lembaga-lembaga modern yang selaras dengan tuntutan Islam. Disamping menerapkan hukum syariah dalam perundangan negara, didirikan Pusat Kajian Islam serta lembaga keuangan Islam.
Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintahan yaitu dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar UU agama dan Mahkamah Kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam masalah agama Islam.
Kerajaan Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan monarki konstitusional dengan Sultan yang menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dengan dibantu oleh Dewan Penasihat Kesultanan dan beberapa Menteri, yang dipilih dan diketuai oleh Sultan sendiri. Sultan Hassanal Bolkiah yang gelarnya diturunkan dalam wangsa yang sama sejak abad ke-15, ialah kepala negara serta pemerintahan Brunei. Baginda dinasihati oleh beberapa majelis dan sebuah kabinet menteri. Pemilu, menurut kontitusi, harus diadakan setiap 5 tahun. Namun sejak 1965 tidak pernah lagi diadakan pemerintahan umum. Partai Demokrasi Nasional Brunei, partai politik satu-satunya dinegara ini, dibentuk pada tahun 1985.
Langkan lain yang ditempuh sultan adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara. Untuk itu dibentuk jabatan hal Ehwal Agama yang bertugas menyebarkan paham Islam. Baik kepada pemerintah beserta aparatnya maupun kepada masyarakat luas. Brunei mengembangkan hubungan luar negeri dengan masuk Organisasi Konferensi Islam, ASEAN dan PBB.
Untuk kepentingan penelitian agama Islam, pada tanggal 16 September 1985 didirikan pusat dakwah yang juga bertugas melaksanakan program dakwah serta pendidikan kepada pegawai-pegawai agama serta masyarakat luas dan pusat pameran perkembangan dunia Islam. Di Brunei orang-orang cacat dan anak yatim menjadi tanggungan negara. Seluruh pendidikan rakyat (dari Tk sampai Perguruan Tinggi) dan pelayanan kesehatan diberikan secara gratis.
REFERENSI
Awang Mohd. Jamil Al-Sufri, liku-liku Pencapain Kemerdekaan Negara Brunei Darussalam, (Brunei: Jabatan Pusat Sejarah,1992) Cet ke-1.
Ensiklopedia Islam, Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1999. Cet. 5
Ensiklopedia Islam Indonesia, Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Djambatan. 1992.
Ensiklopedia Indonesia Seri Geografi. Penyusun Redaksi Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: PT. Intermesa.1990) cet 1.

Aksiologi Ilmu Pengetahuan

Posted by Unknown Label:

Aksiologi Ilmu Pengetahuan

1.       Pendahuluan
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan.
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?
Bagian dari filsafat pengetahuan membicarakan tentang ontologis, epistomologis dan aksiologi. Dalam kajian aksiologi ilmu membicarakan untuk apa dan untuk siapa. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Pamor Aksiologi sebagai salah satu bidang kajian filsafat ternyata belum mendapat tempat yang layak bagi para ilmuan dan filsuf ilmu, khususnya dalam kajian filsafat Ilmu. Selama ini, yang sering mendapat perhatian adalah aspek Ontologis dan Epistemologis ilmu.
 2.       Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu :
  1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika
  2. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan
  3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
 3.       Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.
4.       Nilai
a.       Karakteristik Nilai
1)      Bersifat abstrak; merupakan kualitas
2)      Inheren pada objek
3)      Bipolaritas yaitu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
4)      Bersifat hirarkhis; Nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian, nilai kekudusan.
Menurut Ensyclopedia of Philosophy : aksiologi disamakan dengan value and valuation yang terdiri 3 bentuk:
1)      Nilai (baik, menarik dan bagus) lebih luas (kewajiban, kebenaran dan kesucian)
2)      Nilai sebagai kata benda konkret
3)      Nilai sebagai kata kerja (menilai, memberi nilai, dinilai)
 Berikut adalah beberapa contoh dari hakikat nilai dilihat dari anggapan atau pendapatnya:
1)      Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
2)      Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
3)      Nilai berasal dari kepentingan.
4)      Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
5)      Nilai berasal dari kehendak rasio murni.
b.      Kriteria Nilai
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
1)      Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau masyarakat.
2)      Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
3)      Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur.
5.       Penilaian dalam Aksiologi
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bangun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya  tetap merupakan perasaan.
6.       Aksiologi Filsafat Ilmu
Untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
  • Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
  • Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
  • Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
7.       Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuwan serta masalah bebas nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaah dan keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwannya sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat.
Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
Dibidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkti dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakau untuk kemasalahan manusia atau sebaliknya dapat pula disalah gunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah ”dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
8.       Penutup
Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi, epistemologi dan aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti atau hal yang pokok atau intisari atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu tersebut.
Contohnya :
Membangun Filsafat Teknologi Pendidikan perlu menelusuri dari aspek :
Ontologi          - eksistensi (keberadaan) dan essensi (keberartian) ilmu-lmu Teknologi Pendidikan.
Epistemologi    - metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran
 ilmu-ilmu Teknologi Pendidikan.
Aksiologi       -     manfaat dari ilmu Teknologi Pendidikan.
Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik-baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuwan.
Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
 9.       Pustaka
Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung: Rosdakarya),  2006
Baktiar, Amsal,  Filsafat Ilmu. (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2004
 Masri Elmasyar Bidin , MA, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum, (Jakarta: UIN Jakarta Press)
Salam, Burhanudin.. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta), 1997
Susriasumantri, Jujun S.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan) 1987
TIM, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka), 1995

Ontologi Pengetahuan

Posted by Unknown Label:

Ontologi Pengetahuan
(Hakikat Apa yang dikaji)

 Pendahuluan
Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Berbedanya cara dalam mendapatkan pengetahuan tersebut serta tentang apa yang dikaji oleh pengetahuan tersebut membedakan antara jenis pengetahuan yang satu dengan yang lainnya. 
Pengetahuan dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Sebab kedua adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu  kesimpulan yang berupa pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Suatu penarikan  kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikannya dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih”.
Pengetahuan banyak jenisnya, salah satunya adalah ilmu. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang objek telaahnya adalah dunia empiris dan proses pendapatkan pengetahuannya sangat ketat yaitu menggunakan metode ilmiah. Ilmu menggabungkan logika deduktif dan induktif, dan penentu kebenaran ilmu tersebut adalah dunia empiris yang merupakan sumber dari ilmu itu sendiri.
 Apakah hubungan Ilmu dan filsafat?
Istilah filsafat mengandung banyak penegertian, namun untuk tujuan pembahasan kita, filsafat diartikan sebagai suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Tak satu hal yang bagaimanapun kecilnya terlepas dari pengamatan kefilsafatan. Tak ada suatu pernyataan yang bagaimanapun sederhananya yang kita terima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama. Filsafat menanyakan segala sesuatu dari kegiatan berpikir kita dari awal sampai akhir seperti dinyatakan oleh Socrates, bahwa tugas filsafat sebenarnya bukan menjawab pertanyaan kita tetapi mempersoalkan jawaban yang diberikan. Kemajuan manusia dalam berfilsafat bukan saja diukur dari jawaban yang diberikan namun juga dari pertanyaan yang diajukan.
Lalu bagaimana hubungan filsafat dengan ilmu? Telah disampaikan di atas bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-penegetahuan lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan  pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok tentang apa yang ingin kita ketahui, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut dan apa nilai kegunaannya bagi kita. Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan  perkataan lain, sesuatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Kemudian bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai objek tersebut? Untuk menjawab pertanyaan itu maka kita berpaling kepada epistemologi: yakni teori pengetahuan. Akhirnya dalam menjawab pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan nilai pengetahuan tersebut maka kita berpaling kepada axiologi: yakni teori tentang nilai. Setiap  bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi dan axiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis kefilsafatan ditinjau dari tiga landasan ini akan membawa kita kepada hakikat buah pemikiran tersebut.
 Dasar Ontologi Ilmu
Telah disampaikan sebelumnya bahwa kajian ilmu adalah objek empiris. Pengetahuan keilmuan mengenai objek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu, sebab kejadian alam yang sesunggunya begitu kompleks, dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat objek empiris tertentu, untuk mendapatkan sari yang berupa pengetahuan mengenai objek tersebut.
Ada 3 hal yang berkaitan dalam mempelajari ontologi ilmu, yaitu: Metafisika, Probabilitas dan Asumsi.
*      Metafisika
Secara etimologis metafisika berasal dari kata “meta” dan “fisika” (Yunani). “meta” berarti sesudah, di belakang atau melampaui, dan “fisika”, berarti alam nyata. Kata fisik (physic) di sini sama dengan “nature”, yaitu alam. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat, yang tersimpul di belakang dunia fenomenal. Metafisika melampaui pengalaman, objeknya diluar hal yang ditangkap panca indra.
Metafisika mempelajari manusia, namun yang menjadi objek pemikirannya bukanlah manusia dengan segala aspeknya, termasuk pengalamannya yang dapat ditangkap oleh indra. Sosiologi mempelajari manusia dalam bentuk kelompok serta interaksinya yang dapat ditangkap indra serta yang berada dalam pengalaman manusia; begiru juga psikologi, biologi,  dan sebagainya.
Namun metafisika mempelajari manusia melampaui atau diluar fisik manusia dan gejala-gejala yang dialami manusia. Metafisika mempelajari siapa manusia, apa tujuannya, dari mana asal manusia,  dan  untuk apa hidup di dunia ini. Jadi metafisika mempelajari manusia jauh melampaui ruang dan waktu. Begitu juga pembahasan tentang kosmos maupun Tuhan, yang dipelajari adalah hakikatnya, di luar dunia fenomenal (dunia gejala).
Metafisika dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) Ontologi, dan 2) Metafisika khusus. Ontologi mempersoalkan tentang esensi dari yang ada, hakikat adanya dari segala sesuatu wujud yang ada, “ontology is the theory of being qua being”(Runes, 1963,h.219). Sedangkan Metafisika Khusus, mempersoalkan theologi, kosmologi, dan antropologi.
 *      Asumsi
Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai objek empiris. Ilmu menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin-menjalin secara teratur. Sesuatu peristiwa tidaklah terjadi secara kebetulan namun tiap peristiwa mempunyai pola tetap yang teratur. Bahwa hujan diawali dengan awan tebal dan langit mendung, hal ini bukanlah merupakan suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan berulang dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk kepada hukum-hukum tertentu.
Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris. Asumsi pertama menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke dalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya dan taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taxonomi yang baik.
Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak mungkin dilakukan bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu. Walaupun begitu tidak mungkin kita menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab alam perjalanan waktu tiap benda akan mengalami perubahan. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda.
Determinisme  merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y, melainkan mengatakan X mempunyai kemungkinan (peluang) yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).
*      Peluang
Salah satu referensi dalam mencari kebenaran, manusia berpaling kepada ilmu. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ilmu tersebut yang dalam proses pembentukannya sangat ketat dengan alatnya berupa metode ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia akan sesuatu itu  terlalu tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan oleh ilmu akan bersih dari kekeliruan atau kesalahan. Satu hal yang perlu disadari bahwa “…ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak” (Jujun : 79). Oleh karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu tersebut. Seseorang yang mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih mempercayai pernyataan “ 80% anda akan sembuh jika meminum obat ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda pasti sembuh setelah meminum obat ini”.
Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari prosentase kebenaran yang dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut.
Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, bahwa Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan.

Penutup
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimuai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologis (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Sementara itu Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Salah satu landasannya adalah ontologis yang berisi pertanyaan-pertanyan tentang Objek apa yang ditelaah ilmu?, Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia. Satu hal yang perlu kita sadari bahwa ilmu tidak pernah ingin untuk mendapatkan kebenaran yang mutlak, kebenaran yang ditawarkan ilmu adalah bersifat peluang dengan berlandaskan kepada asumsi-asumsi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil (Filsafat Ilmu Pengetahuan): Rineka Cipta. Jakarta
 Suriasumatri, Jujun. 2005. Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer): Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
 Suriasumatri, Jujun.1991. Ilmu Dalam Perspektif:  Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
vv